MAKALAH
SOSIOLOGI
EMILE DURKHEIM
RIWAYAT HIDUP, FAKTA SOSIAL, BUNUH DIRI, PEMBAGIAN KERJA,
DAN BENTUK DASAR KEHIDUPAN AGAMA
OLEH :
MELDA
SERLI MUCHLIAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
KONSENTRASI PENDIDIKAN GEOGRAFI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012
A.
Konteks
Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir
pada tahun 15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di
bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Ayah Emile
Durkheim adalah seorang “rabi” begitu juga dengan kakeknya. Seandainya Emile
Durkheim mengikuti kebiasaan tradisional, maka dia juga sudah menjadi seorang
rabi namun dia menyimpang dari kebiasaan ini. Sebagian mungkin karena
pengalaman mistik dan untuk sementara masuk katolik di bawah naungan seorang
gurunya yang beragama katolik. Lalu dia meninggalkan Katolisisme dan menjadi
orang yang tidak mau tahu dengan agama (agnostik), tetapi masalah-masalah dasar
tentang moralitas dan usaha meningkatkan moralitas masyarakat merupakan
perhatian pokok selama hidupnya.
Pada usia 21 tahun,
Emile Durkheim diterima di Ecole Normale
Superieure. Dua kali sebelumnya dia gagal dalam ujian masuk yang sangat
kompetitif, walaupun sebelumnya dia sangat cemerlang dalam studinya. Dia datang
ke Paris untuk bisa masuk ke sekolah Lycee Louis-le-Grand (salah satu sekolah
tinggi yang terkemuka), sesudah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari
guru-gurunya di Epinal.
Emile Durkheim
menujukkan dirinya di Ecole Normale
Superieure sebagai seorang mahasiswa yang sangat serius. Seperti banyak
mahasiswa masa kini, Durkheim sangat tidak puas dengan kurikulumnya. Secara
tradisional tekanannya yang dominan adalah pada sastra klasik, termasuk bahasa
Latin dan Yunani. Perkembangan yang lebih mutakhir dalam ilmu umumnya,
kelihatan menurun. Pun di masa mudanya Durkheim menginginkan dasar yang lebih
teliti dalam ilmu yang dia rasa dapat membantu memberikan satu landasan bagi
rekonstruksi moral masyarakat. Kepercayaan terhadap ilmu sebagai kunci untuk
perubahan sosial dan moral merupakan karakteristik positivisme dan yang
terdapat dalam karya Comte khususnya.
Sekurang-kurangnya dua
orang professor Durkheim di Ecole Normale
-Fustel de Coulanges dan Emile Brotroux- mempunyai pengaruh yang sangat
penting terhadap Durkheim. dari de Couglanges, seorang ahli sejarah ternama,
Durkheim mempelajari nilai ilmiah yang kuat dalam penelitian sejarah. Juga
tekanan Coulanges pada consensus intelektual dan agama sebagai dasar
solidaritas sosial sangat jelas mengesankan Durkheim, ketika kemudian Durkheim
mulai berkecimpung dalam karirnya mengenai masalah bagaimana tuntutan moral
masyarakat diendapkan dalam kesadaran subyektif individu, dia kembali
memperhatikan agama dan sumbangannya dalam mempertahankan integrasi masyarakat.
Dari Boutroux, seorang
ahli filsafat, Durkheim mempelajari pentingnya untuk mengakui bahwa ada
tingkatan-tingkatan kenyataan yang berbeda dan tingkatan-tingkatan yang lebih
tinggi dapat memperlihatkan sifat-sifat yang muncul yang tidak dapat dijelaskan
hanya dalam hubungannya dengan gejala sosial yang lebih rendah tingkatannya.
Dengan kata lain, keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya.
Pandangan ini sangat fundamental dalam pendekatan Durkheim yang menyeluruh
terhadap gehala sosial. Pendiriannya bahwa fakta sosial ada pada tingkatannya
sendiri, yang berbeda dari tingkatan individu, merupakan suatu penerapan
sosiologis yang penting dari pikiran pokok filsafat Boutroux. Seperti yang
dikembangkan oleh Durkheim, prinsip ini merupakan suatu argument melawan
reduksionisme psikologis.
Sesudah menamatkan
pendidikannya, Durkheim mulai mengajar. Selama lima tahun dia mengajar dalam
satu sekolah menengah atas (lycees)
di daerah Paris. Selama satu tahun dalam periode mengajar ini dia mendapatkan
cuti untuk belajar lebih lanjut, yang sebagian besar dia habiskan waktunya itu
di Jerman. Di sana dia diperkenalkan dengan Laboratorium Psikologi dari seolah
ahli psikologi eksperimental bernama Wihelm Wundt dan sangat terkesan dengan
komitmennya terhadap studi empirik ilmiah mengenai perilku yang ditunjukkannya.
Juga tentu dia diperkenalkan dengan ide mengenai pembedaan antara Gemeinshaft dan Gesellschaft.
Sejak awal karirnya
mengajar, Durkheim bertekat untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta
moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurut dia tidak relevan
dengan masalah sosial dan moral yang gawat yang sedang melanda Republik Ketiga
itu. Meskipun yakin akan nilai praktis sosiologi untuk membahas masalah-masalah
moral dan kebijaksanaan sosial, sebagai seorang sarjana Durkheim sangat kuat
komitmennya untuk mengambil sikap obyektif dalam analisanya yang secara teguh
didasarkan pada fakta. Keterlibatannya yang langsung dalam berbagai penelitian
yang tidak memihak atau yang obyektif tentang pengetahuan.
Pendirian ideologis
Durkheim secara pribadi bersifat liberal. Walaupun mudah untuk melihat beberapa
implikasi konsevatif yang penting dalam karya teoritisnya, sebagiannya karena
tekanan yang terlampau mementingkan struktur sosial serta kepatuhan indiividu
terhadap masyarakat secara mutlak untuk perkembangannya. Namun dalam
prakteknya, dia membela hak-hak individu melawan pernyataan-pertanyaan yang
tidak adil atau berlebih-lebihan yang dibuat atas nama masyrakat.
B.
Fakta
Sosial
1.
Konsep
Fakta Sosial
Ada dua tema penting
dalam karya Emile Durkheim. Pertama, keutamaan sosial daripada individu. Kedua,
ide bahwa masyarakat bisa dipelajari secara ilmiah. Meski kedua ide tersebut
terus menjadi controversial, namun ide pemikiran Durkheim tetap relevan sampai
sekarang.
Kita hidup di tengah
masyarakat yang cenderung melihat segala sesuatu disebabkan oleh individu,
bahkan persoalan sosial sekalipun. Durkheim mendekati masalah ini dari
prespektif yang berlawanan, ia lebih menekankan dimensi sosial dari seluruh
fernomena manusia. Akan tetapi, meski sebagian kalangan memang mengakui
pentingnya masyarakat – mereka lebih melihatnya sebagai sesuatu yang tidak
memiliki bentuk tetap yang bisa dipahami secara intuitif – tapi mereka tetap
menganggapnya tidak bisa dipelajari secara ilmiah. Di sini, Durkheim
menggunakan pendekatan yang berlawanan. Menurut Durkheim, masyarakat dibentuk
oleh “fakta sosial” yang melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti
melalui observasi dan pengukuran. Ide tersebut adalah inti dari sosiologi yang
menyebabkan Durkheim sering dianggap sebagai “bapak” sosiologi.
Secara singkat fakta
sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di
luar dan memaksa aktor. Menurut Durkheim (1895/1982: 13) dalam Ritzer (2008:
81) dijelaskan fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak,
yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau
bisa dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum
dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari
manifestasi-manifestasi individual.
Kutipan ini menjelaskan bahwa Durkheim memberikan dua
definisi untuk fakta sosial agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi.
Pertama, fakta sosial adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan
bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh
masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun.
2.
Karakteristik
Fakta Sosial
Dalam buku Jhonson
(1986: 177) Emile Durkheim mengemukakakn dengan tegas pembeda gejala sosial
dengan gejala individu. Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik
yang berbeda.
1) Gejala
sosial bersifat eksternal terhadap individu.
Meskipun banyak dari fakta sosial
ini akhirnya diendapkan oleh individu melalui proses sosialisasi, individu itu
sejak awalnya mengkronfontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan
eksternal. Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial
yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi, dan merasakan
dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang sedang diamati
yang tidak ditangkap atau dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu,
kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
2) Fakta
itu memaksa individu
Jelas bagi Durkheim bahwa individu
dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi
oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim
katakana : “tipe-tipe perilaku atau berpikir ini …. mempunyai kekuatan memaksa
individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri”. Ini tidak berarti bahwa
individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negative
atau membatasi seperti mamaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan
dengan kemauannya. Sesungguhnya kalau proses sosialisasi itu berhasil, individu
sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga
perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak
bertentangan dengan kemauan individu.
3) Fakta
sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu
milik bersama; bukan individu atau perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar
hasil dari pejumlahan beberapa individu. Fakta sosial benar-benar bersifat
kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektif
ini. Durkheim ingin menengakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik
kenyataan sosial dari karakteristik individu.
3.
Strategi
Menjelaskan Fakta Sosial
Salah satu metodologi
dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam
hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Ini adalah asas pokok yang mutlak.
Kemungkinan lain dalam memahami fakta sosial adalah menghubungkannya dengan
gejala individu sama seperti yang diungkapkan oleh ahli-ahli ekonomi klasik dan
Spencer.
Prinsip dasar yang
kedua adalah asal usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua
masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “lalu apabila penjelasan
mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang
mengakibatkannya yang menghasilkan gejala itu, dan fungsi yang dijalankannya.
Pertanyaan mengenai
akibat sosial dari tindakan individu adalah terlepas dari pertanyaan mengenai
apa tujuan-tujuan yang dibayangkan individu. Jadi misalnya, individu-individu
menikah karena alasan yang sangat pribadi; hasilnya adalah suatu angka
perkawinan tertentu. Atau individu membuat keputusan pribadi untuk masuk
perguruan tinggi; hasilnya adalah suatu permintaan tertentu akan fasilitas
institusi pendidikan, suatu kenaikan dalam tingkat pendidikan masyarakat dan
seterusnya. Perubahan keputusan-keputusan individu ini menjadi hasil yang
bernilai sosial merupakan fungsionalis modern.
4.
Perbedaan
Fakta Sosial dengan Fakta Individu
Dalam
Jhonson (1986: 175) Durkheim menjelaskan bahwa fakta sosial itu tidak dapat
direduksi ke fakta individu, melainkan memiliki eksistensi yang independen pada
tingkat sosial. Dalam sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa individu,
tidak bisa terlepas dari penjelasan suatu gejala sosial dari perilaku-perilaku
individu-individunya.
Meskipun
karakteristik kelompok lebih besar dari jumlah individu yang meliputi kelompok
itu, kelompok itu tidak akan terpisah dari anggota-anggotanya. pada kesimpulan
akhir, orang tidak langsung mengamati kelompok sebagai benda fisik, tetapi
orang mengambil kesimpulan dari eksistensinya dengan mengamati kegiatan dan
interaksi individu-individu yang terlibat yang menerima kelompok itu sebagai
bagian yang riil dan berhubungan dengan
kelompok itu.
C.
Tipe
Bunuh Diri Menurut Emile Durkheim
Dalam Ritzer (2008: 97)
dijelaskan sebagai seorang sosiolog, Durkheim tidak terlalu fokus mempelajari
mengapa orang melakukan bunuh diri. Karena masalah ini adalah wilayah garapan
psikolog. Durkheim cuma tertarik untuk menjelaskan perbedaan angka bunuh diri,
yaitu dia tertarik kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok lain. Faktor psikologis maupun biologis
mungkin bisa menjelaskan kenapa sebagian individu dalam kelompok melakukan
bunuh diri, akan tetapi Durkheim mengasumsikan bahwa hanya fakta sosial yang
bisa menjelaskan kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih
tunggi dari yang lain.
Durkheim menawarkan dua
cara yang saling berhubungan untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Cara pertama
adalah membandingkan suatu masyarakat atau kelompok dengan tipe yang lain. Cara
kedua yaitu melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah kelompok ke dalam
sebuah rentang waktu.
Teori bunuh diri Durkheim bisa
dijelaskan dari pencermatan hubungan anarata dua fakta sosial, yaitu integrasi
dan regulasi. Interaksi merujuk pada
kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat dan regulasi merujuk pada tingkat paksaan eksternak yang dirasakan
individu. Menurut Durkheim, dua arus sosial tersebut adalah variabel yang
saling berkaitan dan angka bunuh diri akan meningkat apabila salah satu arus
menurut dan sebaliknya.
Tabel 1. Empat Jenis Bunuh Diri
Integrasi
|
Rendah
|
Bunuh diri egoistic
|
Tinggi
|
Bunuh diri altruistic
|
|
Regulasi
|
Rendah
Tinggi
|
Bunuh diri anomik
Bunuh diri fatalistis
|
1. Bunuh
diri egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam
masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berintegrasi dengan baik dengan
unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi melahirkan perasaan individu bukan
bagian dari masyrakat dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya
integrasi sosial itu menciptakan arus sosial yang khhas, dan arus tersebut melahirkan
perbedaan angka bunuh diri. Lebih lanjut menurut Humsona (2004) menjelaskan
Bunuh diri egoistik merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan
pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok
sosial
2. Bunuh
diri alturistik
Bunuh diri alturistik terjadi ketika integrasi yang
sangat kuat. Bunuh diri alturistik ini terjadi jika makin banyak harapan yang
tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya seseuatu yang indah
setelah hidup di dunia ini. Lebih lanjut, dalam Humsona dijelaskan bahwa tipe
bunuh diri alturistik merupakan hasil dari suatu tingkat integrasi sosial yang
terlalu kuat. Tingkat integrasi yang tinggi itu menekan individualitas
dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri.
3. Bunuh diri anomik
Bunuh diri jenis ini terjadi ketika kekuatan regulasi
masyarakat terganggu. Gangguan itu mungkin akan membuat individu merasa tidak
puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran
dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Angka bunuh diri anomik
bisa meningkat terlepas dari apakah gangguang itu positif atau negatif. Yang
lebihsulit dibayangkan adalah dampak boomoing
ekonomi berpendapat bahwa kesuksesan yang tiba-tiba mendorong individu menjaauh
dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
4. Bunuh diri fatalistis
Bunuh diri tipe ini jarang dibahas oleh Emile Durkheim.
Kalau bunuh diri jenis ini terjadi ketika regulasi meningkat. Lebih jelas dalam
Humsona (2004) dijelaskan bahwa bunuh diri fatalistik dilakukan sekelompok
orang, karena di belakangnya terdapat kontrol berlebihan. Dorongan kolektif kuat yang mempengaruhi orang,
memaksa mereka untuk melakukan sesuatu untuk membebaskann diri.
D. Solidaritas
Mekanis Dan Solidaritas Organis
Solidaritas dalam berbagai lapisan masyarakat bekerja
seperti "perekat sosial", dalam hal ini dapat berupa, nilai, adat
istiadat dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam
ikatan kolektif.
Ada bentuk yang disebut solidaritas mekanis, dimana individu
yang diikat dalam suatu bentuk solidaritas memiliki "kesadaran
kolektif" yang sama dan kuat. Karena itu individualitas tidak berkembang
karena dilumpuhkan dengan tekanan besar untuk menerima konformitas. Contoh
masyarakat yang memiliki solidaritas ini adalah masyarakat pra-industri dan
masyarakat pedesaan.
Sementara itu ketika masyarakat semakin kompleks melalui
pembagian kerja, solidaritas mekanik runtuh digantikan dengan solidaritas
organik. Ketika terjadi pembagian kerja maka akan timbul spesialisasi yang pada
akhirnya menimbulkan ketergantungan antar individu. Hal ini juga menggairahkan
individu untuk meningkatkan kemampuannya secara individual sehingga
"kesadaran koletif" semakin redup kekuatannya. Dan solidaritas ini
ada pada masyarakat Industri.
Solidaritas Mekanis
Dalam
Jhonson (1986: 1830 dijelaskan bahwa solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
“kesadaran kolektif” bersama yang menunjuk pada “totalitas
kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada
warga masyarakat yang satu itu”. Bagi Durkheim indikator yang paling jelas
untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang
bersifat menekan. Hukuman mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang
muncul tidak terlalu banyak oleh sifat orang yang menyimpang atau tindakan
kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang
diperlihatkan.
Contoh
fenomena solidaritas organic Emile Durkheim
Dalam
pandangan Durkheim, masyarakat industri-kota merupakan perwujudan yang paling
penuh dari solidaritas organik. Karena masyarakat di sekitar industri pada
awalnya adalah masyarakat pedesaan yang memiliki ciri solidaritas mekanik, maka
dalam proses perkembangan tersebut, masyarakat di sekitar industri dapat
dikatakan masih berada dalam proses menjadi komunitas yang memiliki bentuk
solidaritas organik. Komunitas industri-kota memiliki struktur dan fungsi yang
khas dengan ciri-ciri yang khas. Dibandingkan dengan kondisi komunitas
sebelumnya industri didirikan, komunitas industri-kota ditandai dengan banyak
perbedaan. Perbedaan ini, ditimbulkan oleh adanya kesempatan dan kemampuan yang
berbeda dari masing-masing individu. Terlebih lagi tuntutan industri membuat
individu menspesialisasikan diri pada bidang kegiatan ataupun keahlian tertentu.
Walaupun spesialisasi ini, pada masyarakat industri-kota yang masih dalam
proses pembentukan belum dirasakan betul berimbas kepada kehidupan sosial
mereka.
Solidaritas Organis
Solidaritas
organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas organik
muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada
tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah
sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan. Seperti
dikatakan Durkheim : “Itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran
yang tadinya oleh kesadaran kolektif”.
E. Fungsi Agama Dalam
Masyarakat
Menurut Durkheim agama adalah suatu
pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi
satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui
simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai
kelompok masyarakat yag terikat satu kesamaan.
Emile Durkheim dalam The Elementary Form of Religious
Life (1915). Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat
primitive di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama
meliputi :
1.
Pemisahan
antara `yang suci' dan `yang profane'
2.
Permulaan
cerita-cerita tentang dewa-dewa
3.
Macam-macam
bentuk ritual.
Menurut Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa
jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang,
yang menyembah para ruh nenek moyang mereka.
Kedudukan agama di sini sama dengan kedudukan
kekerabatan, kesukuan, dan komunitas-komunitas lain yang masih diikat dengan
nilai-nilai primordial. Masyarakat yang masih sederhana, dengan tingkat
pembagian kerja yang rendah terbentuk oleh solidaritas mekanis. Ikatan yang
terjadi bukan karena paksaan dari luar atau karena intensif ekonomi semata,
melainkan kesadaran bersama yang didasarkan pada kepercayaan yang sama dan
nilai-nilai yang disepakati sebagai standar moral dan pedoman tingkah laku.
Dengan solidaritas mekanis tersebutmasyarakat menjadi homogen dengan kesadaran
kolektif yang tinggi tetapi menenggelamkan identitas pribadi untuk agar
tercipta kebersamaan. Maka dari itu masyarakat yang berdasarkan system
kekeluragaan dan kekerabatan serta kegotong-royongan yang dipertahankan oleh
asas keharmonisan
DAFTAR
PUSTAKA
Humsona, Rahesli. 2004. Bunuh Diri : Faktor-Faktor Penyebab, Cara yang Ditempuh dan Respons
Komonitas. Jurnal Sosiologi Dilema. ISSN : 0251 – 9635, Vol. 17 No I. Tahun
2004
Jhonson,
Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik
dan Modern. Di Indonesiakan oleh Robert M. Z. Lawang. Jakarta : PT. Gramedia
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori
Sosiologi. Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Pekermbangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana