Selasa, 23 Oktober 2012

Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas)

Jangan Kembali ke Masa Lampau

KENDATI ditentang banyak kalangan, pemerintah seperti tak peduli dan terus bergerilya mengegolkan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas). RUU itu pernah dikembalikan DPR kepada pemerintah, tetapi anehnya diajukan lagi tanpa revisi. 


Hampir semua kelompok masyarakat sipil sepakat berpendapat bahwa sejumlah pasal dalam RUU itu hendak mengembalikan pendulum politik ke masa seperti era Orde Baru. Pasal 30 ayat 2 dan 3 RUU Keamanan Nasional, misalnya, secara terang benderang hendak membawa kembali TNI ke dalam urusan keamanan, bahkan dalam situasi tertib sipil sekalipun. 

Ayat 2 Pasal 30 menyebutkan, 'Presiden dalam penyelenggaraan keamanan nasional dapat mengerahkan unsur TNI untuk menanggulangi ancaman bersenjata pada keadaan tertib sipil sesuai eskalasi dan keadaan bencana'. 

Lalu, pada ayat 3 dinyatakan, 'Ketentuan lebih lanjut mengenai pengerahan unsur TNI untuk menanggulangi ancaman bersenjata pada keadaan tertib sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah'. 

Tidak membutuhkan kening yang berkerut untuk memahami ayat-ayat dalam pasal tersebut. Pengerahan TNI pada keadaan tertib sipil jelas menabrak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. 

Pada Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang tentang TNI tersebut dinyatakan bahwa operasi militer, baik untuk perang maupun keperluan selain perang, dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Itu artinya bukan sekadar perintah presiden. 

Selain itu, kriteria eskalasi ancaman seperti apa yang mengganggu dalam keadaan tertib sipil sehingga presiden bisa mengerahkan TNI tidak jelas. 

Itu seperti memberi cek kosong kepada presiden untuk mendefinisikan sendiri bentuk ancaman atas tertib sipil.

Kalau itu benar-benar terjadi, apa bedanya rezim yang digembar-gemborkan amat demokratis saat ini dengan rezim otoriter Orde Baru yang kita kutuki itu? Bukankah kita sudah sepakat untuk mengakhiri masa kelam itu dengan tidak lagi mencoba kembali menapaki jejak kekelaman tersebut? 

Sama seperti ketika negeri ini memilih jalan desentralisasi melalui otonomi daerah, ketika negara gagal mengendalikan keadaan daerah, bukan berarti kita memilih jalan kembali sentralisasi. 

Kita sudah sepakat bahwa urusan tertib sipil merupakan wilayah kerja kepolisian. Kalau menyaksikan kepolisian kita belum cukup kuat untuk mengatasi keadaan, solusinya jelas bukan dengan membawa kembali TNI ke jalur urusan keamanan. 

Polisi yang lemah, jika memang faktanya seperti itu dan bukan karena dilemah-lemahkan, harus diatasi dengan cara memperkuat Polri. Perbaikilah peralatannya, tambah anggarannya, tingkatkan sumber daya manusianya, dan sesuaikan rasio polisi terhadap jumlah penduduk. 

Kita tidak bisa lagi, bahkan tidak boleh, meratapi ketidakmampuan mengendalikan keadaan dengan mengglorifikasi masa lalu. Kita sudah sampai pada posisi point of no return.
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/23/357615/70/13/Jangan-Kembali-ke-Masa-Lampau#.UIaPO7A37Yh.facebook