Jumat, 14 Desember 2012

EMILE DURKHEIM



MAKALAH
SOSIOLOGI
  
EMILE DURKHEIM

RIWAYAT HIDUP, FAKTA SOSIAL, BUNUH DIRI, PEMBAGIAN KERJA,
DAN BENTUK DASAR KEHIDUPAN AGAMA
  

OLEH :
MELDA
SERLI MUCHLIAN


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
KONSENTRASI PENDIDIKAN GEOGRAFI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012


A.    Konteks Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir pada tahun 15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Ayah Emile Durkheim adalah seorang “rabi” begitu juga dengan kakeknya. Seandainya Emile Durkheim mengikuti kebiasaan tradisional, maka dia juga sudah menjadi seorang rabi namun dia menyimpang dari kebiasaan ini. Sebagian mungkin karena pengalaman mistik dan untuk sementara masuk katolik di bawah naungan seorang gurunya yang beragama katolik. Lalu dia meninggalkan Katolisisme dan menjadi orang yang tidak mau tahu dengan agama (agnostik), tetapi masalah-masalah dasar tentang moralitas dan usaha meningkatkan moralitas masyarakat merupakan perhatian pokok selama hidupnya.
Pada usia 21 tahun, Emile Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dua kali sebelumnya dia gagal dalam ujian masuk yang sangat kompetitif, walaupun sebelumnya dia sangat cemerlang dalam studinya. Dia datang ke Paris untuk bisa masuk  ke sekolah Lycee Louis-le-Grand (salah satu sekolah tinggi yang terkemuka), sesudah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari guru-gurunya di Epinal.
Emile Durkheim menujukkan dirinya di Ecole Normale Superieure sebagai seorang mahasiswa yang sangat serius. Seperti banyak mahasiswa masa kini, Durkheim sangat tidak puas dengan kurikulumnya. Secara tradisional tekanannya yang dominan adalah pada sastra klasik, termasuk bahasa Latin dan Yunani. Perkembangan yang lebih mutakhir dalam ilmu umumnya, kelihatan menurun. Pun di masa mudanya Durkheim menginginkan dasar yang lebih teliti dalam ilmu yang dia rasa dapat membantu memberikan satu landasan bagi rekonstruksi moral masyarakat. Kepercayaan terhadap ilmu sebagai kunci untuk perubahan sosial dan moral merupakan karakteristik positivisme dan yang terdapat dalam karya Comte khususnya.
Sekurang-kurangnya dua orang professor Durkheim di Ecole Normale -Fustel de Coulanges dan Emile Brotroux- mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap Durkheim. dari de Couglanges, seorang ahli sejarah ternama, Durkheim mempelajari nilai ilmiah yang kuat dalam penelitian sejarah. Juga tekanan Coulanges pada consensus intelektual dan agama sebagai dasar solidaritas sosial sangat jelas mengesankan Durkheim, ketika kemudian Durkheim mulai berkecimpung dalam karirnya mengenai masalah bagaimana tuntutan moral masyarakat diendapkan dalam kesadaran subyektif individu, dia kembali memperhatikan agama dan sumbangannya dalam mempertahankan integrasi masyarakat.
Dari Boutroux, seorang ahli filsafat, Durkheim mempelajari pentingnya untuk mengakui bahwa ada tingkatan-tingkatan kenyataan yang berbeda dan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi dapat memperlihatkan sifat-sifat yang muncul yang tidak dapat dijelaskan hanya dalam hubungannya dengan gejala sosial yang lebih rendah tingkatannya. Dengan kata lain, keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Pandangan ini sangat fundamental dalam pendekatan Durkheim yang menyeluruh terhadap gehala sosial. Pendiriannya bahwa fakta sosial ada pada tingkatannya sendiri, yang berbeda dari tingkatan individu, merupakan suatu penerapan sosiologis yang penting dari pikiran pokok filsafat Boutroux. Seperti yang dikembangkan oleh Durkheim, prinsip ini merupakan suatu argument melawan reduksionisme psikologis.
Sesudah menamatkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar. Selama lima tahun dia mengajar dalam satu sekolah menengah atas (lycees) di daerah Paris. Selama satu tahun dalam periode mengajar ini dia mendapatkan cuti untuk belajar lebih lanjut, yang sebagian besar dia habiskan waktunya itu di Jerman. Di sana dia diperkenalkan dengan Laboratorium Psikologi dari seolah ahli psikologi eksperimental bernama Wihelm Wundt dan sangat terkesan dengan komitmennya terhadap studi empirik ilmiah mengenai perilku yang ditunjukkannya. Juga tentu dia diperkenalkan dengan ide mengenai pembedaan antara Gemeinshaft dan Gesellschaft.
Sejak awal karirnya mengajar, Durkheim bertekat untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan filsafat tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang gawat yang sedang melanda Republik Ketiga itu. Meskipun yakin akan nilai praktis sosiologi untuk membahas masalah-masalah moral dan kebijaksanaan sosial, sebagai seorang sarjana Durkheim sangat kuat komitmennya untuk mengambil sikap obyektif dalam analisanya yang secara teguh didasarkan pada fakta. Keterlibatannya yang langsung dalam berbagai penelitian yang tidak memihak atau yang obyektif tentang pengetahuan.
Pendirian ideologis Durkheim secara pribadi bersifat liberal. Walaupun mudah untuk melihat beberapa implikasi konsevatif yang penting dalam karya teoritisnya, sebagiannya karena tekanan yang terlampau mementingkan struktur sosial serta kepatuhan indiividu terhadap masyarakat secara mutlak untuk perkembangannya. Namun dalam prakteknya, dia membela hak-hak individu melawan pernyataan-pertanyaan yang tidak adil atau berlebih-lebihan yang dibuat atas nama masyrakat.

B.     Fakta Sosial
1.      Konsep Fakta Sosial
Ada dua tema penting dalam karya Emile Durkheim. Pertama, keutamaan sosial daripada individu. Kedua, ide bahwa masyarakat bisa dipelajari secara ilmiah. Meski kedua ide tersebut terus menjadi controversial, namun ide pemikiran Durkheim tetap relevan sampai sekarang.
Kita hidup di tengah masyarakat yang cenderung melihat segala sesuatu disebabkan oleh individu, bahkan persoalan sosial sekalipun. Durkheim mendekati masalah ini dari prespektif yang berlawanan, ia lebih menekankan dimensi sosial dari seluruh fernomena manusia. Akan tetapi, meski sebagian kalangan memang mengakui pentingnya masyarakat – mereka lebih melihatnya sebagai sesuatu yang tidak memiliki bentuk tetap yang bisa dipahami secara intuitif – tapi mereka tetap menganggapnya tidak bisa dipelajari secara ilmiah. Di sini, Durkheim menggunakan pendekatan yang berlawanan. Menurut Durkheim, masyarakat dibentuk oleh “fakta sosial” yang melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti melalui observasi dan pengukuran. Ide tersebut adalah inti dari sosiologi yang menyebabkan Durkheim sering dianggap sebagai “bapak” sosiologi.
Secara singkat fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa aktor. Menurut Durkheim (1895/1982: 13) dalam Ritzer (2008: 81) dijelaskan fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Kutipan  ini menjelaskan bahwa Durkheim memberikan dua definisi untuk fakta sosial agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi. Pertama, fakta sosial adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun.

2.      Karakteristik Fakta Sosial
Dalam buku Jhonson (1986: 177) Emile Durkheim mengemukakakn dengan tegas pembeda gejala sosial dengan gejala individu. Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda.
1)      Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu.
Meskipun banyak dari fakta sosial ini akhirnya diendapkan oleh individu melalui proses sosialisasi, individu itu sejak awalnya mengkronfontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan eksternal. Hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari suatu organisasi, dan merasakan dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang sedang diamati yang tidak ditangkap atau dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
2)      Fakta itu memaksa individu
Jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti Durkheim katakana : “tipe-tipe perilaku atau berpikir ini …. mempunyai kekuatan memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri”. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negative atau membatasi seperti mamaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Sesungguhnya kalau proses sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
3)      Fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat.
Dengan kata lain, fakta sosial itu milik bersama; bukan individu atau perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari pejumlahan beberapa individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektif ini. Durkheim ingin menengakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik kenyataan sosial dari karakteristik individu.

3.      Strategi Menjelaskan Fakta Sosial
Salah satu metodologi dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Ini adalah asas pokok yang mutlak. Kemungkinan lain dalam memahami fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu sama seperti yang diungkapkan oleh ahli-ahli ekonomi klasik dan Spencer.
Prinsip dasar yang kedua adalah asal usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “lalu apabila penjelasan mengenai suatu gejala sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya yang menghasilkan gejala itu, dan fungsi yang dijalankannya.
Pertanyaan mengenai akibat sosial dari tindakan individu adalah terlepas dari pertanyaan mengenai apa tujuan-tujuan yang dibayangkan individu. Jadi misalnya, individu-individu menikah karena alasan yang sangat pribadi; hasilnya adalah suatu angka perkawinan tertentu. Atau individu membuat keputusan pribadi untuk masuk perguruan tinggi; hasilnya adalah suatu permintaan tertentu akan fasilitas institusi pendidikan, suatu kenaikan dalam tingkat pendidikan masyarakat dan seterusnya. Perubahan keputusan-keputusan individu ini menjadi hasil yang bernilai sosial merupakan fungsionalis modern.

4.      Perbedaan Fakta Sosial dengan Fakta Individu
Dalam Jhonson (1986: 175) Durkheim menjelaskan bahwa fakta sosial itu tidak dapat direduksi ke fakta individu, melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Dalam sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa individu, tidak bisa terlepas dari penjelasan suatu gejala sosial dari perilaku-perilaku individu-individunya.
Meskipun karakteristik kelompok lebih besar dari jumlah individu yang meliputi kelompok itu, kelompok itu tidak akan terpisah dari anggota-anggotanya. pada kesimpulan akhir, orang tidak langsung mengamati kelompok sebagai benda fisik, tetapi orang mengambil kesimpulan dari eksistensinya dengan mengamati kegiatan dan interaksi individu-individu yang terlibat yang menerima kelompok itu sebagai bagian yang riil dan berhubungan dengan kelompok itu.

C.    Tipe Bunuh Diri Menurut Emile Durkheim
Dalam Ritzer (2008: 97) dijelaskan sebagai seorang sosiolog, Durkheim tidak terlalu fokus mempelajari mengapa orang melakukan bunuh diri. Karena masalah ini adalah wilayah garapan psikolog. Durkheim cuma tertarik untuk menjelaskan perbedaan angka bunuh diri, yaitu dia tertarik kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain. Faktor psikologis maupun biologis mungkin bisa menjelaskan kenapa sebagian individu dalam kelompok melakukan bunuh diri, akan tetapi Durkheim mengasumsikan bahwa hanya fakta sosial yang bisa menjelaskan kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih tunggi dari yang lain.
Durkheim menawarkan dua cara yang saling berhubungan untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Cara pertama adalah membandingkan suatu masyarakat atau kelompok dengan tipe yang lain. Cara kedua yaitu melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah kelompok ke dalam sebuah rentang waktu.
Teori bunuh diri Durkheim bisa dijelaskan dari pencermatan hubungan anarata dua fakta sosial, yaitu integrasi dan regulasi. Interaksi merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat dan regulasi merujuk pada tingkat paksaan eksternak yang dirasakan individu. Menurut Durkheim, dua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka bunuh diri akan meningkat apabila salah satu arus menurut dan sebaliknya.
Tabel 1. Empat Jenis Bunuh Diri
Integrasi
Rendah
Bunuh diri egoistic

Tinggi
Bunuh diri altruistic
Regulasi
Rendah
Tinggi
Bunuh diri anomik
Bunuh diri fatalistis



1.      Bunuh diri egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berintegrasi dengan baik dengan unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi melahirkan perasaan individu bukan bagian dari masyrakat dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial itu menciptakan arus sosial yang khhas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Lebih lanjut menurut Humsona (2004) menjelaskan Bunuh diri egoistik merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial
2.      Bunuh diri alturistik
Bunuh diri alturistik terjadi ketika integrasi yang sangat kuat. Bunuh diri alturistik ini terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya seseuatu yang indah setelah hidup di dunia ini. Lebih lanjut, dalam Humsona dijelaskan bahwa tipe bunuh diri alturistik merupakan hasil dari suatu tingkat integrasi sosial yang terlalu kuat. Tingkat integrasi yang tinggi itu menekan individualitas dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri.
3.      Bunuh diri anomik
Bunuh diri jenis ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan itu mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Angka bunuh diri anomik bisa meningkat terlepas dari apakah gangguang itu positif atau negatif. Yang lebihsulit dibayangkan adalah dampak boomoing ekonomi berpendapat bahwa kesuksesan yang tiba-tiba mendorong individu menjaauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
4.      Bunuh diri fatalistis
Bunuh diri tipe ini jarang dibahas oleh Emile Durkheim. Kalau bunuh diri jenis ini terjadi ketika regulasi meningkat. Lebih jelas dalam Humsona (2004) dijelaskan bahwa bunuh diri fatalistik dilakukan sekelompok orang, karena di belakangnya terdapat kontrol berlebihan. Dorongan  kolektif kuat yang mempengaruhi orang, memaksa mereka untuk melakukan sesuatu untuk membebaskann diri.

D. Solidaritas Mekanis Dan Solidaritas Organis
Solidaritas dalam berbagai lapisan masyarakat bekerja seperti "perekat sosial", dalam hal ini dapat berupa, nilai, adat istiadat dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif.
Ada bentuk yang disebut solidaritas mekanis, dimana individu yang diikat dalam suatu bentuk solidaritas memiliki "kesadaran kolektif" yang sama dan kuat. Karena itu individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan dengan tekanan besar untuk menerima konformitas. Contoh masyarakat yang memiliki solidaritas ini adalah masyarakat pra-industri dan masyarakat pedesaan.
Sementara itu ketika masyarakat semakin kompleks melalui pembagian kerja, solidaritas mekanik runtuh digantikan dengan solidaritas organik. Ketika terjadi pembagian kerja maka akan timbul spesialisasi yang pada akhirnya menimbulkan ketergantungan antar individu. Hal ini juga menggairahkan individu untuk meningkatkan kemampuannya secara individual sehingga "kesadaran koletif" semakin redup kekuatannya. Dan solidaritas ini ada pada masyarakat Industri.

Solidaritas Mekanis
Dalam Jhonson (1986: 1830 dijelaskan bahwa solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang satu itu”. Bagi Durkheim indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan. Hukuman mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul tidak terlalu banyak oleh sifat orang yang menyimpang atau tindakan kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkan.




Contoh fenomena solidaritas organic Emile Durkheim
Dalam pandangan Durkheim, masyarakat industri-kota merupakan perwujudan yang paling penuh dari solidaritas organik. Karena masyarakat di sekitar industri pada awalnya adalah masyarakat pedesaan yang memiliki ciri solidaritas mekanik, maka dalam proses perkembangan tersebut, masyarakat di sekitar industri dapat dikatakan masih berada dalam proses menjadi komunitas yang memiliki bentuk solidaritas organik. Komunitas industri-kota memiliki struktur dan fungsi yang khas dengan ciri-ciri yang khas. Dibandingkan dengan kondisi komunitas sebelumnya industri didirikan, komunitas industri-kota ditandai dengan banyak perbedaan. Perbedaan ini, ditimbulkan oleh adanya kesempatan dan kemampuan yang berbeda dari masing-masing individu. Terlebih lagi tuntutan industri membuat individu menspesialisasikan diri pada bidang kegiatan ataupun keahlian tertentu. Walaupun spesialisasi ini, pada masyarakat industri-kota yang masih dalam proses pembentukan belum dirasakan betul berimbas kepada kehidupan sosial mereka.

Solidaritas Organis
Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan. Seperti dikatakan Durkheim : “Itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya oleh kesadaran kolektif”.

E. Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Menurut Durkheim agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yag terikat satu kesamaan.
Emile Durkheim dalam The Elementary Form of Religious Life (1915). Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitive di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi :
1.      Pemisahan antara `yang suci' dan `yang profane'
2.      Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa
3.      Macam-macam bentuk ritual.
Menurut Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek moyang mereka.
Kedudukan agama di sini sama dengan kedudukan kekerabatan, kesukuan, dan komunitas-komunitas lain yang masih diikat dengan nilai-nilai primordial. Masyarakat yang masih sederhana, dengan tingkat pembagian kerja yang rendah terbentuk oleh solidaritas mekanis. Ikatan yang terjadi bukan karena paksaan dari luar atau karena intensif ekonomi semata, melainkan kesadaran bersama yang didasarkan pada kepercayaan yang sama dan nilai-nilai yang disepakati sebagai standar moral dan pedoman tingkah laku. Dengan solidaritas mekanis tersebutmasyarakat menjadi homogen dengan kesadaran kolektif yang tinggi tetapi menenggelamkan identitas pribadi untuk agar tercipta kebersamaan. Maka dari itu masyarakat yang berdasarkan system kekeluragaan dan kekerabatan serta kegotong-royongan yang dipertahankan oleh asas keharmonisan

DAFTAR PUSTAKA

Humsona, Rahesli. 2004. Bunuh Diri : Faktor-Faktor Penyebab, Cara yang Ditempuh dan Respons Komonitas. Jurnal Sosiologi Dilema. ISSN : 0251 – 9635, Vol. 17 No I. Tahun 2004

Jhonson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Di Indonesiakan oleh Robert M. Z. Lawang.  Jakarta : PT. Gramedia

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi. Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Pekermbangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana