Senin, 15 Oktober 2012

BATASAN SOSIOLOGI MENURUT PARA AHLI



Oleh   :  Sibet S.Pd 
Prodi : Pendidikan IPS / Konsentrasi Pendidikan Geografi
         Pascasarjana Universitas Negeri Padang

Sosiologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata socius dan logos, di mana socius memiliki arti kawan / teman dan logos berarti kata atau berbicara.Sosiologi merupakan ilmu tentang masyarakat, atau ilmu yang mempelajari kehidupan masyarakat dan suatu kelompok. Sosiologi juga merupakan dasar dari ilmu pengetahuan yang membimbing seseorang untuk berlaku adil dan mengetahui hukum dengan sebaik-baiknya. Untuk lebih mendalami definisi sosiologi, berikut dibahas batasan, definisi, dan penyebab perbedaan definisi sosiologi dikalangan para ahli, seperti; Emile Durkheim, Max Weber dan Peter L. Berger.

Emile Durkheim berpendapat bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Untuk memahami konsep fakta sosial ini, Durkheim menyajikan contoh misalnya pendidikan anak. Sejak bayi anak diwajibkan untuk makan, minum, tidur pada waktu-waktu tertentu; diwajibkan taat, dan menjaga kebersihan serta ketenangan; diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan  kebiasaan.

Contoh-contoh di atas merupakan unsur-unsur yang dikemukakan dalam definisi Durkheim tersebut : ada cara bertindak, berpikir, berperasaan yang bersumber pada kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada di luar kehendak pribadi individu. Contoh lain dari konsep fakta sosial yang diambil dari buku Durkheim : The Division of Labor in Society (1968) dan Suicide (1968). Durkheim mengemukakan bahwa pembagian kerja dalam masyarakat (mungkin di saat sekarang orang cenderung menggunakan istilah lain), seperti spesialisasi. Spesialisasi dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti bidang ekonomi, pendidikan, politik, hukum, ilmu pengetahuan, kesenian, administrasi merupakan cara bertindak yang dianut secara umum, berada di luar kehendak pribadi, individu.

Kemudian contoh dari buku Suicide-nya : menurut Durkheim laju bunuh diri dalam tiap masyarakat dari tahun ke tahun cenderung relatif konstan-menurut Durkheim ini merupakan fakta sosial. Dalam penelitian Durkheim ditemukan bahwa laju bunuh diri disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar individu.

Bagi Weber sosiologi ialah ilmu yang mempelajari tindakan sosial (social action). Menurut Weber tidak semua tindakan manusia disebut sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya disebut sebagai tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, dan berorientasi pada perilaku orang lain. Misalnya menyanyi di kamar mandi untuk menghibur diri sendiri tidak dapat dianggap sebagai tindakan sosial; tetapi menyanyi di depan umum dengan maksud untuk menghibur orang lain merupakan tindakan sosial.

Menurut Weber suatu tindakan sosial ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Dari contoh di atas nampak bahwa tindakan yang sama : menyanyi - dapat mempunyai makna berlainan bagi pelakunya. Menurut Weber sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai tujuan dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Maka apabila ahli sosiologi ingin memahami makna subyektif suatu tindakan sosial ia harus dapat membayangkan dirinya di tempaat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Suatu contoh hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pelacur, misalnya seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subyektif tindakan sosial mereka.

Pembahasan

1. Batasan Sosiologi dari Emile Durkheim, Max Weber, dan Peter L. Berger

Emile Durkheim dalam bukunya Rules of Sociological Method (1965), mengidentifikasi sosiologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari apa yang dinamakan fakta sosial, yang berisikan cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang berada di luar individu yang mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Lebih lanjut  Durkheim menjelaskan bahwa fakta sosial merupakan setiap cara bertindak, yang telah baku ataupun tidak, yang dapat melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu. Fakta sosial dapat dicontohkan seperti; hukum, moral, kepercayaan, adat-istiadat, tata cara berpakaian, dan kaidah ekonomi. Fakta sosial seperti inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian dari sosiologi. Lebih jelasnya mengenai konsep fakta sosial tersebut, Durkheim menyajikan sejumlah contoh, salah satu diantaranya adalah pendidikan anak; sejak bayi seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada waktu tertentu; diwajibkan taat, dan menjaga kebersihan serta ketenangan, dan lain sebagainya.

Max Weber dalam kajiannya mengenai konsep dasar sosiologi menjelaskan bahwa sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan sosial. Hal ini dikarenakan tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut sebagai tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Lebih jelas pendapat Weber ini dapat dicontohkan dengan menulis puisi untuk menghibur diri sendiri tidak dapat dianggap sebagai tindakan sosial, tetapi ketika puisi tersebut diberikan kepada seorang kekasih maka hal tersebut baru bisa dikatakan sebagai tindakan sosial.

Suatu tindakan menurut Weber adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Oleh karena sosiologi bertujuan memahami mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di pemukiman kumuh atau di kawanan pencopetlah seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.

 Peter L. Berger mengungkapkan bahwa pemikiran sosiologis berkembang manakala masyarakat menghadapi ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap sebagai hal yang memang sudah seharusnya demikian, benar, dan nyata. Manakala hal yang selama ini menjadi pegangan manusia mengalami krisis, maka mulailah orang melakukan renungan sosiologis. Lebih lanjut Berger mengajukan berbagai citra yang melekat pada ahli sosiologi, seperti; sebagai seseorang yang suka bekerja dengan orang lain, menolong orang lain, melakukan sesuatu untuk orang lain, atau seorang teorikus dibidang pekerja sosial, sebagai seseorang yang melakukan reformasi sosial, dan lain sebagainya. Berger mengemukakan bahwa berbagai citra yang dianut oleh orang tersebut tidak tepat, keliru dan bahkan menyesatkan. Menurut Berger, seorang ahli sosiologi bertujuan memahami masyarakat, Tujuannya bersifat teoritis, yaitu hanya memahami semata-mata. Lebih lanjut Berger mengatakan bahwa daya tarik sosiologi terletak pada kenyataan bahwa sudut pandang sosiologis memungkinkan kita untuk memperoleh gambaran lain mengenai dunia yang telah kita tempati sepanjang hidup kita.

Konsep lain yang disoroti Berger adalah konsep ‘masalah sosiologis’. Menurut Berger suatu masalah sosiologi tidak sama dengan suatu masalah sosial. Masalah sosiologi menurut Berger menyangkut pemahaman terhadap interaksi sosial.

2.  Perbedaan Ketiga Definisi

Emile Durkheim menegaskan sosiologi sebagai fakta sosial yang bisa saja bersifat memaksa, karena berasal dari luar individu. Salah satu contohnya adalah hukum.
Max Weber mengidentifikasi sosiologi sebagai tindakan sosial, yaitu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, dan yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya.

Sedangkan Peter L. Berger berpendapat bahwa sosiologi merupakan pemahaman terhadap interaksi sosial. Daya tarik sosiologi terletak pada kenyataan bahwa sudut pandang sosiologi yang bersifat objektif, sehingga memungkinkan individu untuk memperoleh gambaran lain mengenai kehidupan (dunia) yang dijalaninya. Lebih jelasnya Berger menekankan bahwa tidak semua masalah sosial bisa dikatakan sebagai masalah sosiologi.

3.      Sebab Terjadinya Perbedaan Definisi Sosilogi dari Beberapa Ahli

Beberapa sebab kenapa terjadinya perbedaan definisi sosiologi dari para ahli tersebut, diantaranya:
  1. Ketiga ahli sosiologi ini hidup dalam negara dan lingkungan sosial yang berbeda satu sama lainnya, hal ini tentunya sangat mempengaruhi perspektif yang mereka gunakan dalam merumuskan kaidah sosiologi.
  2. Para ahli tersebut menggunakan sudut pandang yang berbeda dalam merumuskan konsep dan makna sosiologi, hal ini dapat terlihat dari contoh kasus yang mereka gunakan.
  3. Ketiga tokoh sosiologi ini juga hidup pada zaman yang berbeda, Emile Durkheim dan Max Weber termasuk ahli yang menjadi perintis sosiologi, sedangkan Peter L. Berger dikategorikan sebagai ahli sosiologi masa kini. Walaupun sebenarnya pemikiran Berger banyak merujuk pada analisis Weber. Misalnya dalam Invitation to Sociology (1963) dan juga Sociology Reintepreted (1981), Berger menekankan bahwa sosiologi perlu kembali ke semangat Weberianisme, salah satu manifestasi dari hal tersebut adalah dalam melakukan analisa sosial perlu menggunakan metode verstehen (pemahaman). Konsep verstehen yang dipakai oleh Berger ini merupakan konsep yang sebelumnya telah didengungkan oleh Max Weber.
Konklusi
Agaknya antara pemikiran sosiologis yang terdiri atas sejumlah tokoh klasik atau perintis awal yang diantaranya termasuk Emile Durkheim dan Max Weber dengan para sosiologis masa kini, terdapat suatu kesinambungan (suatu benang merah). Karena pada dasarnya sebagian besar konsep dan teori sosiologi masa kini berakar dari sumbangan pikiran para tokoh klasik masa lalu.


Sumber Bacaan:
James M. Henslin. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga.
Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia  
R.M.Z. Lawang. 1985. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka.









Minggu, 14 Oktober 2012

Teori Lokasi ,Johann Heinrich von Thunen



                                                                    
Oleh   :  Sibet S.Pd 
Prodi : Pendidikan IPS / Konsentrasi Pendidikan Geografi
         Pascasarjana Universitas Negeri Padang

Johann Heinrich von Thunen ( 1826 ) telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang ( spatial cation ) dan pola penggunaan lahan. Johann Heinrich von Thunen menguraikan teori sewa lahan diferensial dalam bukunya yang berjudul Der Isoleitere Staat, in Beziehung auf Landwirtschaft und Nationalokonomie ( Berlin: Schumacher-Zarchin,   1975)
Inti von Thunen adalah mengenai lokasi dan spesialisasi pertanian. berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan, yaitu:
  • wilayah model yagn terisolasikan  ( isolated state ) adalah bebas dari pengaruh pasar-pasar kota-kota lain.
  • wilayah model membentuk tipe permukiman perkampungan di mana  kebanyakan keluarga petani hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan bukan tersebar di seluruh wilayah.
  • wilayah model memilki iklim, tanah, topografi yang seragam atau unifrom ( produktifitas tanah secara fisik adalah sama ).
  • wilayah model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif seragam
  • faktor-faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah konstan, maka dapat dianalisis bahwa sewa lahan merupakan hasil persaingan antara jenis penggunaan lahan.
Von Thunen (1826) hanya menambah kekurangan teori sewa tanah David Ricardo yaitu mengenai jarak tanah dari pasar. Hal ini setelah dikaji ternyata beda karena semakin jauh dari pasar semakin mahal biaya transportasinya.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi sewa tanah:
a)    Kualitas tanah yang disebabkan oleh kesuburan tanah, pengairan, adanya fasilitas listrik, jalan dan sarana lainnya;
b)   Letaknya strategis untuk perusahaan/industri; dan
c)    Banyaknya permintaan tanah yang ditujukan untuk pabrik, bangunan rumah, perkebunan.
Von  Thunen juga mengidentifikasi  tentang  perbedaan  lokasi  dari  berbagai kegiatan  pertanian  atas  dasar  perbedaan  sewa  lahan  (pertimbangan  ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa  lahan  dengan  jarak  ke  pasar  dengan  menggunakan  kurva  permintaan.
Berdasarkan  perbandingan  (selisih)  antara  harga  jual  dengan  biaya  produksi, masing-masing  jenis  produksi  memiliki  kemampuan  yang  berbeda  untuk membayar  sewa  lahan.  Makin  tinggi  kemampuannya  untuk  membayar  sewa lahan, makin  besar  kemungkinan  kegiatan  itu  berlokasi  dekat  ke  pusat  pasar.
Dalam model tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut : Wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain;

  •   Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah dan semakin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah;
  • Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam;
  •  Fasilitas pengengkutan adalah primitive (sesuai dengan zaman-nya) dan relative seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; dan
  • Kecuapi perbedaan jarak ke pasar semua factor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.


              Dalam menjelaskan teorinya ini, von Thunen menggunakan tanah pertanian sebagai contoh kasusnya. Dia menggambarkan bahwa perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat produksi ke pasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah. Model von Thunen mengenai tanah pertanian ini, dibuat sebelum era industrialisasi, yang memiliki asumsi dasar sebagai berikut : Kota terletak di tengah antara "daerah terisolasi" (isolated state). Isolated State dikelilingi oleh hutan belantara. Tanahnya datar. Tidak terdapat sungai dan pegunungan. Kualitas tanah dan iklim tetap. Petani di daerah yang terisolasi ini membawa barangnya ke pasar lewat darat dengan menggunakan gerobak, langsung menuju ke pusat kota.

Gambar model von Thunen di atas dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menampilkan "isolated area" yang terdiri dari dataran yang "teratur", kedua adalah, kondisi yang "telah dimodifikasi" (terdapat sungai yang dapat dilayari). Semua penggunaan tanah pertanian memaksimalkan produktifitasnya masing-masing, dimana dalam kasus ini bergantung pada lokasi dari pasar (pusat kota).Membandingkan hubungan antara biaya produksi, harga pasar dan biaya transportasi. Kewajiban petani adalah memaksimalkan keuntungan yang didapat dari harga pasar dikurang biaya transportasi dan biaya produksi. Aktivitas yang paling produktif seperti berkebun dan produksi susu sapi, atau aktivitas yang memiliki biaya transportasi tinggi seperti kayu bakar, lokasinya dekat dengan pasar. Tentu saja hubungan di atas sangat sulit diterapkan pada keadaan yang sebenarnya. Tetapi bagaimanapun kita mengakui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sistem transportasi dengan pola penggunaan tanah pertanian regional. 


             Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota

SOAL
15 ha lahan yang ditanami jagung dengan produksi panen 490  kg/ha. Pada musim hujan produksi panen turun menjadi 250 kg/ha. Harga jagung/ton/ha adalah Rp. 3.500,000,-. Pemilik lahan mengeluarkan upah mengolah lahan, menanam, sampai memanen sebanyak 1.250.000/ton/ha. Jagung akan dipasarkan ke kota A dengan jarak tempuh 35 km dan waktu tempuh 0,5 jam. Upah yang harus dikeluarkan untuk itu sebesar Rp. 150.000/ton. Pemerintah bertekat, untuk 15 tahun yang akan datang akan menaikan harga jagung menjadi Rp. 5.000.000/ton.
n  1. Berapa nilai sewa lahan (land rent) yang akan dikeluarkan petani tersebut
n  2.  Berapa nilai manfaat atau keuntungan atau penerimaan yang diterima dari petani tersebut.
JAWAB


 


Dimana (untukkasus land rent produksipadisawah):
LR       = land rent
Y          = output per unit lahan (kg/ha)
m         = harga/ satuanoutput (Rp/kg)
c          = biayaproduksi per satuan output (Rp/kg)
t           = biayatransportasi per satuan output (Rp/kg/km)
d          = jarak antara lokasi produksi dengan pusat pasar (km)


B       = Benefit/penerimaan
C       = Cost/biaya
t        = time/waktu
r        = menunjukkan perbedaan nilai saat ini dan saat yang akan datang (discount rate)

1.      NILAI SEWA LAHAN
Diketahui:
Y   =  490 + 250 kg/ha     = 740 kg/ha
m   =  3.500.000 /ton/ha   = 3.500 /kg/ha
c    =  1.250.000 /ton/ha   = 1.250 /kg/ha
t     = 150.000 /ton           = 150 /kg
d    = 35 km


 


LR       = 740 kg (Rp 3.500 – Rp 1.250) – 740 kg x 150/35km x 35 km
= 740 kg x 2.250 – 740 kg x Rp150
= Rp 1.665.000 – Rp 111.000
= Rp 1.554.000 /ha x 15  = Rp 23.310.000


2.      Nilai manfaat atau keuntungan
Diketahui :
B   = 15 ha x 740 kg/ha x Rp 3.500  = Rp 38.850.000
C  = 23.310.00 + ( Rp 1.250 x 15 )+  (150 x 740 kg) = 23.310.00 + 18.750 + 111.000 = 23.439.750
t    = 0,5 jam
r   = Rp 5.000.000 /ton – 3.500.000 /ton/ha = Rp. 1.500.000 /ton/ha = 1.500 kg/ha

            
         
          = Rp 397.786,53